RUU KPK Dinilai Amputasi Kewenangan KPK
Digdayamedia.id – Kembali menyeruaknya rencana untuk melakukan revisi terhada undang-undang KPK membuat banyak pihak berkomentar, salah satunya Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Karolus Kopong Medan yang menilai pemerintah dan DPR tidak serius mendukung KPK dalam memberantas praktik korupsi di Tanah Air. Sebab, RUU KPK dinilai dapat ‘mengamputasi’ kewenangan KPK.
“Mengamputasi sejumlah kewenangan penting KPK dalam membongkar kasus-kasus korupsi melalui revisi UU KPK, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime),” katanya di Kupang sebagaimana dilansir Antara, Jumat (6/9/2019) dilansir dari detik.com.
Mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengemukakan pandangan tersebut guna menanggapi pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo, yang menegaskan lembaga yang dipimpinnya berada di ujung tanduk
“Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Bukan tanpa sebab, semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini,” kata Agus saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9).
Menurut Agus, dalam seleksi pimpinan KPK yang telah menghasilkan 10 nama calon pimpinan, terdapat orang yang bermasalah.
Hal seperti ini, kata dia, akan membuat kerja KPK ke depan terbelenggu dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak karena DPR dalam sidang paripurnanya, Kamis (5/9), juga menyetujui revisi UU KPK menjadi RUU Inisiatif DPR.
Kopong Medan mengatakan, apabila rencana revisi UU KPK dengan mengamputasi sejumlah kewenangan KPK, seperti mengekang independensi dan membatasi kewenangan melakukan penyadapan, diwujudkan, jelas hal itu akan membuat KPK tidak berdaya dalam menghadapi gelombang korupsi yang terus menghantui bangsa Indonesia.
Ada sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK, yaitu independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik yang dibatasi, serta penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Selain itu, DPR tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari tindak pidana korupsi sehingga keberadaan KPK juga terancam.
“Kami menyadari betul bahwa KPK itu hanya sebagai pengguna undang-undang, DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif. Akan tetapi, KPK juga meminta teman-teman di DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK,” ujar Agus.
KPK juga menyadari RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin menjadi undang-undang jika presiden menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut karena undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden.
Kopong Medan mengatakan sangat ironis karena langkah pembatasan kewenangan KPK itu justru dilakukan oleh pemerintah dan para legislator di saat masyarakat, bangsa, dan negara ini sedang dihantui praktik-praktik korupsi yang semakin menggurita.
Oleh karena itu, yang semestinya dilakukan oleh pemerintah dan para legislator adalah berusaha dengan memperkuat cara-cara yang luar bisa yang digunakan KPK untuk menghadapi korupsi sebagai kejahatan luar biasa ini.
“Jika kewenangan KPK berhasil diamputasi, maka saya yakin kita akan bergerak mundur jauh ke belakang, dan jaringan korupsi yang selama ini sudah mulai tiarap dan kelimpungan menghadapi jebakan-jebakan KPK akan kembali berpesta pora menikmati hasil korupsi,” demikian dikatakan Kopong Medan. (Arr)