Keterwakilan Perempuan di Parlemen Belum ideal
Serang- Keterwakilan perempuan untuk duduk diparlemen hingga pemilu 2019 ditetapkan belum memenuhi kuota 30 persen keterwakiln perempuan atau yang populer disebut kebijakan affirmative action yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan pemilu.
Perbincangan tersebut terungkap dalam diskusi publik yang diselenggarakan Suwaib Amiruddin Foundation (SAF) dengan tema “Perempuan Di Era Demokrasi” yang diselenggarakan di Kantin Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jum’at (4/10).
Hadir dalam kesempatan itu sebagai narasumber, Anggota DPRD Provinsi Banten Encop Sofia, Komisioner KPU Provinsi Banten Rohimah, Komisioner Bawaslu Kota Serang Liah Culiah, dan Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik Ipah Ema Jumiati.
Mereka hadir memberikan pencerahan dan gagasan dalam diskusi tersebut kepada peserta, seputar fenomena perempuan di kancah politik dan pembangunan.
Kiprah perempuan saat ini menurut pandangan Akademisi Untirta Ipah Ema Jumiati, menyatakan bahwha keterwakilan perempuan di parlemen saat ini masih belum memenuhi kuota. Hal ini harus menjadi perhatian, beberapa hasil penelitian menurutnya perempuan yang duduk di parlemen juga rata-rata mereka diorong oleh keluarganya berlatar belakang politisi maupun pejabat negara.
“Perempuan yang duduk di DPR RI dari hasil pemilu 2019 dengan kursi 575 anggota tersebut, hanya ada sebesar 20,5 persen keterwakilan perempuan, meski meningkat dari pemilu sebelumnya sebesar 17 persen, namun belum mencapai angka 30 persen keterwakilan perempuan,” ujar dokor alumni Universitas Padjajaran Bandung ini.
Hal senada disampikan Komisioner KPU Banten, Rohimah, menurutnya keterwakilan di Parlemen Provinsi Banten juga belum memenuhi harapan. Bahwa caleg perempuan yang terpilih hanya 15 orang dari 85 anggota DPRD Banten. Sementara caleg laki-laki terpilih mendominasi sebanyak 70 orang. Padahal terang Rohimah KPU menerapkan aturan zipper system dalam pencalonan legislatif.
“Zipper system ini mengatur dari tiga calon legislatif yang diusung dari partai di suatu dapil, satu caleg harus diisi caleg perempuan. Namun, tetap saja posisi perempuan belum banyak yang mampuh bersaing untuk duduk di parlemen, termasuk di Provinsi Banten. Jadi perempuan harus meningkatkan kualitas dirinya dimanapun mereka berkiprah dan tentu harus menjaga dari sikap dan tingkah laku yang kurang baik, yang bisa merendahkan derajat perempuan,” terangnya
Encop Sofia sebagai praktisi politik perempuan membenarkan bahwa kiprahnya sebagai perempuan parlemen, yang pernah duduk satu periode sebagai Anggota DPRD Kota Serang dan Anggota DPRD Provinsi Banten, yang kedua kalinya pada periode saat ini, mengkui bahwa posisi perempuan masih tersisihkan.
“Misalnya, nomor urut caleg untuk perempuan lebih sedikit di nomor urut 1, tapi lebih banyak di nomor urut sepatu atau nomor urut besar yang kurang strategis. Artinya keterlibatan perempuan baru sebatas pelengkap saja. Selain itu otokritik saya pada parpol, abhwa parpol belum maksimal dalam kaderisasi perempuan, yang jadi caleg itu hanya untuk memenuhi kuota saja, kadang yang masuk jadi caleg bukan daru kader partai, tapi mereka dari anak atau istri gubernur, bupati, istri lurah atau istri pejabat negara atau petinggi parpol”, beber Koordinator Presidium KAHMI yang juga alumni Master of Art dalam bidang Ilmu Politik University of Hawaii USA tersebut.
Kondisi yang sama terjadi di Kota Serang, menurut Komisioner Bawaslu Kota Serang, Liah Culiah, bahwa keterwakilan perempuan duduk di DPRD Kota Serang masih sedikit, masih jauh adari angka 30 persen.
“ada Sebanyak 617 Caleg yang memperebutkan 45 kursi DPRD Kota Serang, yang terdiri caleg laki-laki sebanyak 384 dan caleg perempuan sebanyak 233, namun hanya 6 orang kursi caleg perempuan yang saat ini sudah dilantik. Itu artinya kursi perempuan hanya 13 persen, sehingga belum mencapai 30 persen seperti yang diamanatkan dalam undang-undang” terangnya
Lebih lanjut Culiah, menghimbau pada generasi perempuan agar optimis bisa bersaing di era keterbukaan demokrasi saat ini. Bahkan beliau berinisiasi mengajak untuk membuat sekolah kader perempuan untuk pembangunan kususnya di Banten, dan mendapat respon dari perempuan yang hadir tersebut.
“Perempuan harus aktif terlibat mewarnai demokrasi, termasuk menjadi penyelenggara pemilu, baik sebagai KPU, Bawaslu, termasuk terjun bersing menduduki jabatan politik seperti legislatif dan eksekutif, serta di lembaga lainnya. Saya sangat bersyukur bisa ikut dalam pertemuan diskusi ini, kedepan saya mengajak untuk menginisiasi sekolah kader perempuan demi pempbangunan”, pungkas Ketua Ikatan Alumni Univeristas Banten Jaya tersebut. (Ibo)