Makhluk Cerdas Bernama Manusia

Digdayamedia.id | Ada sebuah teori yang berkata bahwa memandangi warna hijau selama beberapa menit saat mata lelah berkutat dengan komputer adalah hal yang baik untuk dilakukan. Katanya, warna hijau memiliki gelombang yang dapat diterima mata dengan baik, sehingga kita akan tenang saat melihatnya. Dan setahuku, selain dedaunan, uang pun identik dengan warna hijau. Lantas, apakah uang selalu membuat kita tenang? Membuat kita senang, mungkin saja. Tapi, membuat kita tenang, belum tentu.
Sedihnya, di zaman sekarang ini, hijaunya uang lebih berpengaruh dibandingkan hijaunya alam. Manusia mampu merendahkan moral hingga serendah-rendahnya atas nama uang. Manusia membakar hutan dan menebang pohon secara liar, melakukan perdagangan hewan yang dilindungi, karena uang. Kita lupa bahwa bumi ini bukan warisan untuk kita, melainkan titipan untuk anak cucu kita. Apakah uang yang kau miliki masih mampu membahagiakan anakmu jika kelak tidak ada lagi yang bisa manusia makan?
Uang memang penting dalam dunia pasca revolusi industri, tanpa perlu bercocok tanam sendiri, berburu sendiri, atau membuat apa-apa sendiri, kita cuma perlu mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. Makin kita kaya, makin banyak yang mampu kita raup. Tapi, ada yang lebih penting dari itu semua: bumi yang selama ini kau injak, pohon yang selama ini memberimu oksigen, gunung yang selama ini mengalirkan air bersih, laut yang selama ini memberimu aneka ragam makanan. Tanpa itu semua, masihkan uangmu berharga?
Jika dalam beberapa tahun saja hutan yang tadinya sunyi bisa berubah pesat menjadi pusat hiburan serba ada untuk menyesuaikan kamuan para turis, bayangkan apa yang akan terjadu beberapa tahun dari sekarang? Dan ini terjadi hampir di setiap tempat di muka bumi. Seperti itukah makhluk cerdas yang disebut manusia? Hanya membangun dengan menghancurkan alam? Hanya mengambil tapi lupa menanam? Bagi ekonomi, perkembangan ini tentu menguntungkan. Tapi, bagi ekosistem? Ada yang memukul dadaku, dan itu adalah perasaan bersalah. Bukankah alam dieksploitasi karena orang-orang sepertiku yang gemar mengunjunginya?
Banyak dari kita yang merasa bahwa manusia adalah penguasa alam raya. Bahwa kita bebas mengambil dan membuang apa pun yang ada di dunia, bahwa hewan dan lingkungan diciptakan untuk memuaskan hasrat kita. Kupikir, pemahaman seperti itu konyol adanya.
Bayangkan bumi yang kita tinggali sebesar tutup botol. Matahari sebesar lemari. Galaksi berarti sebesar rumahmu. Galaksi yang lain berarti sama dengan rumah tetanggamu. Rumah-rumah ini berkumpul dalam satu kompleks. Lalu ada kompleks-kompleks yang lain. Kompleks-kompleks ini berkumpul dalam satu kota. Lalu ada kota yang lain. Alam semesta sangat besar, dan bereksansi tiap detiknya. Sekarang, mari kita balik lagi ke tutup botol tempat kau tinggal bersama tujuh milyar manusia lainnya. Yakin masih merasa manusia adalah penguasa alam raya?
Sesekali, jika sedang berada di alam terbuka, baik itu gunung maupun pantai, jangan terlalu sibuk memotret diri atau update status, tapi coba lihatlah pemandangan yang mahaluas. Agar kau mengerti, betapa kecil dan tak berdayanya manusia, dan betapa menyedihkannya jika kita masih saja mengurusi hal-hal yang tidak penting, lalu melupakan hal yang paling sakral, bahwa kita manusia. Diturunkan ke muka bumi untuk berbuat kebaikan pada alam dan sesama, semoga kita selalu ingat. Bahwa bukan alam yang membutuhkan manusia, tapi manusia yang membutuhkan alam. Kebaikan pada alam bisa dilakukan dengan hal yang paling sederhana, jangan buang sampah sembarangan, misalnya, terlepas ada yang melihat atau pun tidak.
Penulisa: Ilham Nurjaman