Program Pembentukan Perda Bukan Instrumen Merencanakan Kegagalan dalam Penyusunan Raperda
Pasti diantara kita pernah membaca peraturan, namun sampai tahu peraturan tersebut betul-betul memberikan manfaat bagi masyarakat atau dipergunakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan barangkali tidak begitu banyak yang tahu apalagi peduli akan hal itu, karena memang pada umumnya kita ingin tahu peraturan hanya pada saat ada keperluan/kebutuhan saja, seperti mengenai pengurusan izin , dipelajari betul apa persyaratan dan bagaimana prosesnya. kalau kita flash back terhadap alur pembentukan peraturan tersebut, tentu terdapat asal mulanya terdapat urgensi pembentukannya yang menguraikan mengenai latar belakang, sasaran, dan jangkauan serta urgensinya, proses seperti ini disebut juga dengan perencanaan atau diistilahkan dengan program legislasi, kalau di pemerintah pusat disebut dengan Prolegnas dan untuk di Daerah disebut Propemperda.
Instrumen perencanaan ini merupakan titik awal memperoleh peraturan yang mencerminan kebutuhan masyarakat, menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan, untuk melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau untuk mengakselarisakan dengan program pemerintahan.
Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan tersebut sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya penulis akan menitikberatkan terhadap penyusunan instrumen di Pemerintahan Daerah, dimana saat ini masing-masing Pemerintahan Daerah sedang melaksanakan perencanaan pembentukan perda untuk tahun 2020.
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan atributif membentuk Peraturan Daerah dari Pasal 18 ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penjabaran kewenangan Pemda diatur dengan instrumen Undang-Undang dan intrumen perundang-undangan lainnya antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri) keberadaan instrumen tersebut merupakan model dari Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Dikenal juga dalam ilmu perundang-undangan yakni asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki).
Adapun Perda sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU 58 Tahun 2019, perda berada pada urutan terahir dengan Kekuatan hukumnyapun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian dapat dipahami sesungguhnya perda sebagai peraturan perundang-undangan memiliki materi muatan (isi/substansi) yang lebih implementatif, yang sudah jelas arah dan jangkauannya, yang dibentuk karena ada kebutuhan di tingkat Pemda. Agar materi perda tidak sama dengan peraturan diatasnya, maka instrumen perencanaan bisa menjadi penyaring (filter) tertib materi muatan, juga untuk membatasi hadirnya perda-perda yang tidak efektif serta sebagai wadah menampung aspirasi pembentukan perda di daerah. Fungsi pembentukan perda yang kemudian digawangi oleh alat kelengkapan DPRD (Bapemperda) sesungguhnya memiliki fungsi strategis dalam pembentukan perda, sepertihalnya Badan Anggaran yang memiliki tugas dan wewenang dalam pembahasan Anggaran (Budgeting), Bappemperdapun sesuai tugas dan wewenangnya sangat menentukan diterima atau ditolak usulan raperda untuk menjadi prioritas.
Ketika fungsi Bappemperda mengikuti usulan pengusul dan masuk ke tingkat pembahasan serta ahirnya menjadi perda namun sulit untuk diwujudkan, hal ini pernah disampaikan oleh Bapemperda DPRD DIY saat menerima kunjungan kerja Bappemperda Provinsi Banten pada tanggal 28 Oktober 2019, memberikan contoh Perda yang tidak efektif seperti Perda Lembaga Penjamin Perlindungan Konsumen, dan Perda Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) yang disebabkan harus adanya permintaan tertulis (pemilik lahan) untuk dijadikan Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jika dikaji kembali keberadaan perda-perda dimasing-masing Pemda, besar kemungkinan ditemukan perda yang tidak dilaksanakan. Mengingat Bappemperda yang mengkoordinasikan penyusunan propemperda, dari perspektif instrumen perencanaan (good proces) menurut penulis harus memiliki kriteria sebagai berikut:
pertama memiliki mekanisme yang terukur/terarah dan prosedural. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan mekanisme yang terukur/terarah dan prosedural adalah Pemda memiliki peraturan di tingkat daerah diperkenankan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah, Peraturan DPRD atau Peraturan Daerah.
Kedua, melaksanakan Komitmen dan mentaati peraturan yang ditetapkan. Dalam hal ini seringkali peraturan yang telah disepakati justru untuk dilanggar, dikesampingkan agar judul raperda yang diusulkan menjadi proritas.
Ketiga mengedepan kualitas (mutu) bukan kuantitas. Terkait hal ini pemerkarsa raperda harus memiliki mainsheat kebutuhan perda yang tidaksemata mengejar banyaknya raperda yang diprioritaskan untuk mendapatkan alokasi anggaran.
Keempat usulan raperda didukung argumentasi ilmiah. Yangmana argumentasi ilmiah ini sebagai pondasi usulan raperda yang dapat dipertanggungjawabkan baik menyangkut kewenangan, objek yang jelas, dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan lainnya, dan
Kelima menghilangkan ego sektoral pengusul. Untuk faktor ini pengusul dalam mengkomunikasikan usulannya tidak memaksakan diri, menerima masukan/saran serta berjiwa besar menerima hasil keputusan.
Semoga Pemerintahan Daerah (Kepala Daerah dan DPRD) mampu mengemban tugas menyusun Perda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan membiasakan diri merancang pembangunan hukum di tingkat daerah khususnya membentuk Perda melalui instrumen Propemperda yang berkualitas dengan adanya analisis kebutuhan perda bukan sebaliknya merancang pembangunan hukum untuk memenuhi lemari, laci atau meja atau website produk hukum daerah dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat maupun bagi dasar hukum menyelenggarakan pemerintahan daerah, mari kita hindari “salah merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”, disinilah perlunya ilmu sebelum berkata dan beramal (Al-ilmu qobla Al Qaul Wa Al A’mal).
Penulis : Akhmad Syaefullah (ASN Biro Hukum sejak 2001 sampai dengan sekarang)