‘BROADCAST’
Oleh : Dede Qodrat Alwajir
Lebaran telah berlalu, opor, semur daging dan ketupat di meja makan mungkin sudah habis. Namun, kenangan berlebaran di rumah tidak mudah habis begitu saja. Untuk melupakannya dirasa membutuhkan waktu yang sangat lama. Berkumpul, bercengkrama, bersilaturahmi, semuanya seperti kenangan yang terikat kuat dalam sekat-sekat ingatan.
Silaturahmi secara langsung dari rumah kerumah, bertegur sapa dengan kawan lama menambah suasana bahagia dalam asa. Itulah makna silaturahmi sesungguhnya: bertemu muka dan bertegursapa. Sebagian besar masyarakat masih melaksanakannya. Tapi tak jarang ada juga sebagian kecil sudah lupa. Apa sebab, perilaku baru dalam ber’medsos’ ria merupakan salah satu alasannya.
Teknologi seringkali dikeluhkan menjauhkan yang dekat. Sepertinya yang berada disamping kita sudah tidak penting lagi, kita lebih memilih memperdulikan sekotak layar berukuran kecil yang tiba-tiba bisa membuat kita tertawa, atau mengerinyitkan dahi seketika. Itulah efek buruk dari teknologi yang tidak bisa dihindari. Satu-satunya obat untuk menyembuhkannya adalah pilihan kita sendiri untuk menghargai orang-orang yang sedang bercengkrama.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Seringkali karena kemudahan dalam mengirimkam pesan. Mengirimkan pesan satu ke banyak orang dalam waktu yang relatif singkat, mengikis budaya ‘off line’ yang sering dilakukan. Pesan yang bisa dikirimkan dalam waktu singkat ini membuat kita memilih fasilitas tersebut dari pada sekedar tegur sapa secara langsung.
Hantu teknologi yang kita takuti itu bernama ‘broadcast’. Ialah yang menjadikan kita tak nyaman saat memeriksa pesan terbaru dalam Handphone. Juga penyebab utama yang membuat kita kebal dengan pesan yang bernama iklan. Dengan broadcast, satu pesan bisa dikirim ke ribuan orang dalam satu waktu. Lalu, jadi bermaknakah pesan silaturahmi yang kita kirim. Menurut saya tidak. Kita menjadi terjebak dalam kecepatan namun tidak memahami arti sentuhan yang lebih mendalam.
Melihat dari sisi waktu, cara ini sangat efektif dan berbiaya murah. Namun dari sisi kesan ini terasa sangat asing dalam kebudayaan yang kita yakini. Bahkan seperti sangat dangkal. Contohnya, tidak ada nilai yg kita dapatkan dari mengirimkam pesan selamat Idul Fitri dengan kalimat yang sama untuk semua orang. Dari pengalaman saya selama Idul Fitri kemarin, hanya yang mengirimkan pesan secara khusulah yang saya balas ucapannya.
Seperti kata Dale Carnegie, nama seseorang adalah musik terindah di dunia. Kamu sebut namanya, maka yang bersangkutan akan merasa menjadi manusia yang paling berharga di dunia. Spesial, dekat dan menyentuh. Jadi inti pesan seharusnya menyentuh nama seseorang, dan kalimat yang kita kirimkan memang satu-satunya pesan khusus yang kita berikan untuknya.
Tidak hanya saat Idul Fitri, dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita sembrono dalam menjual barang melalui cara daring. Membroadcast pesan keseluruh kontak yang dimiliki di handphone bukanlah cara yang bijak. Ketidaknyamanan seringkali muncul, bahkan menurut saya sudah tidak menjadi efektif untuk beriklan melalui broadcast. Penyebab utamanya adalah, karena kita tidak melalukan sentuhan satu persatu. Orang dengan cepat akan mudah mengabaikan pesan itu. Pesan yang kuat adalah yang memiliki ikatan yang lekat antara pengirim dan penerima. Mereka yang menerima pesan harus dihargai oleh para pengirim pesan. Kesimpulannya cerdaslah dalam berkomunikasi, sesekali mulai sekarang, cobalah cara offline, sepertinya lebih efektif.
Foto bersumber dari wikihow.com