Diantara Dua Perang
Digdayamedia.id,- Seorang kawan pernah berkata, “Tidak ada masa damai, yang ada hanyalah masa istirahat di antara kedua perang”. Benarkah begitu? Saya jadi teringat kepada para pedahulu kita yang memerangi penjajah agar semua anak bangsa bisa berpendidikan. Bukan hanya anak-anak dari para pejabat, hasil peranakan penjajah dengan para nyai atau keturunan priyayi saja.
Ya, anganku jauh melayang pada masa-masa awal abad dua puluh, pada masa seeda baru saja masuk dan dinamakan “kereta angina”, dan listrik masih menjadi hal yang tidak semua orang bisa lihat. Orang-orang pribumi di zaman dahulu masih begitu terkungkung keterbatasan informasi tapi mampu berpikiran luas, memimpikan hal besar, berharap ada masa dimana negeri ini bisa menyejajarkan dirinya di kancah dunia. Paham-paham baru pun melebur di negeri tercinta ini untuk meludahi paham lama penjajah.
Mereka, para pendahulu kita mungkin kakek dan nenekmu adalah orang-orang hebat yang memberikan pundaknya agar kita bisa meraih lebi tinggi, meraih cita-cita, menjadi rival sekaligus kawan setara bangsa-bangsa Eropa dalam hal ilmu teknologi dan pengetahuan.
Betapa sedihnya ketika dihadapkan dengan kenyataan hari ini, di mana kebanyakan dari kita yang tidak lagi terkungkung oleh keterbatasan informasi, malah mempunya pemikiran yang sempit. Anak muda yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk memojokan yang lemah, dan lebih senang membuat geng yang mengeroyok orang-orang tak bersalah, daripada berorganisasi untuk mengeroyok ketidakadilan. Orang-orang pintar mempergunakan otaknya untuk mengelabui dan menipu rakyat kecil dengan sejuta janji tanpa bukti.
Kini kota menjadi kotor dengan baliho-baliho dan ribuan poster menyambut pemilu yang memajang foto si calon dengan senyum lebar dan titel yang panjang, sepanjang kereta api. Bukankah Hendry Dunant pernah bilang, “Selama sebuah Negara tidak kekurangan pecinta alam, Negara tersebut takkan kehabisan peimpin!” Lalu calon pemimpin macam apa yang mengotori kota? Calon pemimpin macam apa yang tidak peduli dengan sampah-sampah sisa pemilihan umum?.
Negeri ini adalah negeri yang besar, negeri yang hebat. Cuma, sayangnya, tidak semua orang mamu bersyukur. Kebanyakan dari kita lebih senang terlena dicekoki keindahan dunia fana. Sedih karena putus cinta, tapi lupa kalau saudara-saudara kita ada yang lebih bersedih karena putus sekolah. Menangis karena hati terluka oleh sang kekasih, tapi lupa kalau saudara-saudara kita lebih terluka karena haknya diinjak-injak. Galau karena cinta ditolak, tapi lupa kalau saudara-saudara kita ada yang berusaha tidak galau karena kehilangan tempat tinggal pasca bencana.
“Tidak ada masa damai, yang ada hanya masa istirahat di antara kedua perang”. Jika benar begitu, apa kita siap membela Negara kita jika esok hari kembali dijajah? Apa kita tau apa yang mesti dilakukan saat ada segerombolan orang-orang yang ingin menjatuhkan paham yang kini kita anut? Apa kita sudah punya ide dan strategi agar negeri ini selamat? Ataukah kita akan terlalu sibuk membetulkan poni, sibuk mengunggah foto selfie dengan latar belakang pertempuran, sibuk memperbarui status sedang ada di medan pertempuran?.
Negeri ini adalah dirimu, dirimu adalah negeri ini. Tanah yang kau beraki, yang kau kencingi, yang kau ambil airnya untuk kau minum, yang kau ambil padinya untuk kau makan. Tah pernahkah kau merasa berhutang untuk membawa Bumi Pertiwi ke arah yang lebih baik?.
Penulis: Ilham