Jeda Menuju Titik

Oleh: Dede Qodrat Alwajir
Seperti apa rasanya kegembiraan dan kedukaan bersatu?Apakah anda pernah merasakannya? Itulah yang keluarga kami rasakan. Selepas Idul Fitri yang penuh dengan suka cita, beberapa hari kemudian kami mendengar kabar nenek kami, nenek yang kami cintai meninggal.
Rasanya seperti campur aduk, disetiap lebaran kami biasanya mendengarkan ‘omelan’ kangennya terhadap anak cucunya. Tapi lebaran tahun ini nenek kami berbaring lemah. Ditubuhnya seperti tidak ada energi lagi. Karena lambungnya tidak lagi mau menerima makanan.
Akhirnya dihari ke empat lebaran, nenek kami meninggal dan menghembuskan nafas terakhir. Kami, mengantarkannya sampai liang lahatnya. Lantunan surat yasin mengiringi dengan tenang. Uraian air mata tergenang lalu mengalir dengan keikhlasan. Selamat jalan nek.
Dari kejadian ini kita seperti diingatkan, kemarin kita berpuasa, satu perintah agama yang kita jalankan setahun sekali. Agama meminta kita menjeda pencernaan yang mungkin lelah. Tubuh butuh waktu untuk mengembalikan fungsinya. Ajaibnya puasa mengembalikan semua fungsi itu.
Itulah jeda, bukan diminta berhenti tapi diminta sejenak memikirkan arti dan subtansi. Kita sebenarnya mau kemana? Menuju kepada apa?
Untuk apa sesungguhnya setiap kesibukan yang kita kejar 24 jam sehari. Alasan kita, sibuk menumpuk harta untuk terhindar dari kemiskinan. Padahal kemiskinan sejati adalah berpulang tanpa bekal sesungguhnya: amal kebaikan.
Titik kita adalah ingatan orang lain. Seperti apa kita dikenal. Apa yang kita lakukan. Semua itu akan di justifikasi saat raga tak bernyawa. Ketika dimasukan ke sebidang tanah, fisik itu akan sirna. Yang abadi tentang kita hanya soal selama kita hidup sudah memberi kebaikan atau tidak.
Lebaran telah berlalu, liburan hampir habis. Rutinitas akan kembali menyapa kita. Ingat, ini hanya rutinitas, bagian dari pada jeda. Titik kita adalah memori.
Beramalah dengan baik. Harta yang kita tumpuk, jadikan sarana untuk kebaikan dan kemandirian keluarga kecil kita. Jangan sampai orang yang kita tinggalkan tidak memiliki martabat. Kuncinya berjuang dalam jeda untuk menuju titik henti sesungguhnya.
Penulis adalah Direktur Spectrum Data Indonesia