Lupus Bukan Pupus
(Episode 2)
Digdayamedia.id | Temen-temen tau enggak, waktu itu kondisi keluarga bagaimana bingungnya memutuskan antara harus cuci darah atau tidak, karna pada dasarnya siapapun gak ada yang mau melakukan itu. Tapi dokter semakin mendesak suami dan bapakku karna kondisiku semakin melemah.
42 menit telah berlalu, pertimbangan keluarga belum mencapai kesepakatan. “bagaimana kondisi aku nanti setelah cuci darah ?? apakah cuci darah seumur hidup ??” dan berbagai pertanyaan lain yang menjadi alasan suami dan bapak ku belum mengambil keputusan.
Tapi walau bagaimanapun keputusan itu harus ada, dengan perasaan yang was-was penuh kekhawatiran, keluarga mengiyakan untuk segera dilakukan cuci darah.
Setelah semua proses persiapan dilakukan, akhirnya tiba saat dimana aku merasa gelisah dan takut. Perlu teman-teman tahu, aku tidak seperti pasien biasanya, untuk pemasangan infus ditangan saja menggunakan jarum ukuran terkecil (untuk bayi), dikarenakan pembulu darahku yang sangat kecil.
Perlahan dokter mulai menyuntik suntikan itu ke paha ku, aku mulai meringis menahan sakit ketika suntikan itu diteruskan dengan memasukan selang Panjang hingga tembus ke pembulu darah, mamah yang saat itu menemaniku hanya bisa menundukan kepala karena tidak kuat melihat proses pemasangan, sedangkan suamiku masih kuat memegang tanganku sambil menyaksikan usaha dokter memasang saluran cuci darah hingga selesai.
Setelah cuci darah alhamdulillah kondisiku semakin membaik dan dipindahkan ke ruang rawat inap Gedung A Lantai 6 Kamar 620 D. kini cuci darah 2 kali dalam seminggu (Selasa – Jum’at) menjadi rutinitas baruku, hari hari yang kulewati kian berbeda, sakit nya tusukan jarum dan selang seakan enggan meninggalkan tubuhku, Lantas apa aku harus menyerah??
Tepatnya pada tanggal 29 Juli 2019 aku harus melewati tahap operasi pemasangan saluran cuci darah yang kedua, kenapa harus pasang lagi? Apa yang dipaha tidak cukup?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika dokter meminta keluarga untuk menandatangani surat persetujuan penindakan. Aku hanya bisa pasrah dan beroda semoga prosesnya berjalan dengan lancer.
Kurang lebih 2 jam aku berada didalam ruangan tindakan, aku hanya bisa meneteskan air mata menahan sakit saat petugas mengantarku keluar dari ruang tindakan, suamiku yang sudah lama menunggu diluar menatapku dengan gelisah, sambil melihat leher kanlanku yang tertutup balutan perban ia langsung mempertanyakan kondisiku “kamu ga apa-apa?” “udah beres kan tindakannya?” pertanyaan itu ia tanyakan padaku dengan raut wajah yang masih gelisah mengharap jawaban dariku.
karena aku belum juga menjawab satu katapun beberapa kali ia ulangi pertanyaan yang sama. “operasinya gagal a” ucapku sambil bercucuran air mata. proses operasi ku gagal dikarenakan pembulu darahku yang terlalu kecil dan sangat beresiko jika dipaksakan, dan alhasil aku terpaksa harus cuci darah dengan selang yang dipaha walau beberapa kali mengalami kemacetan dalam proses cuci darah.
Rabu, 04 Agustus 2019 sumaiku menyampakan informasi yang ia dapatkan melalui youtube. Ternyata selain cuci darah, banyak penderita gagal ginjal yang menggunakan Countinuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) sebagai pengobatan gagal ginjal. Perlahan ia menjelaskan kelebihan dan kekurangan CAPD dan Cuci Darah ke aku dan juga keluarga hingga semuanya setuju dengan rencana tersebut. Salah satu alasan kami lebih memilih CAPD karena proses nya bisa dilakukan sendiri di rumah tanpa harus ke rumah sakit 2 kali dalam seminggu seperti Cuci Darah.
Perlu teman-teman tahu, untuk pindah ke CAPD tidak serta merta begitu saja, pengobatan gagal ginjal melalui CAPD harus dioperasi dibagian perut untuk dipasang selang yang nantinya digunakan sebagai akses CAPD. Setelah keluarga menyampaikan keinginan tersebut ke Dokter dan mendapat respon positif akhirnya dokter segera menjadwalkan operasi pemasangan askes CAPD untuk ku pada hari senin 09 Agustus 2019. Dan Alhamdulillah pasca operasi hingga tanggal 15 Agustus 2019 kodisiku semakin membaik dan akan diperbolehkan pulang pada tanggal 17 Agustus 2019. “Alhamdulillah akhirnya besok aku pulang ke rumah”.
Jum’at, 16 Agustus 2019 – Pagi itu aku sarapan seperti biasa ditemani mbak Yanti yang merupakan salah satu pasien Lupus juga yang sengaja datang melihat kondisiku. Perasaanku sangat senang karena hari ini hari terakhir aku berada di Rumah Sakit, dan besok aku akan pulang ke rumah setelah 2 Bulan lamanya menjalani perawatan di RSCM.
“Yessss akhirnya aku pulang” rasa senang itu tak dapat ku ungkap dengan kata-kata, hanya keceriaan dan senyuman yang menjadi jawaban betapa bahagianya aku saat itu, tapi entah kenapa senyuman itu tiba-tiba tergantikan dengan kegelisahan yang entah dari mana datangnya. Penyakitku satu tahun yang lalu datang lagi. “kejang”
Penulis : Ihdata MS
Bersambung ……