Efek Konsep Omnibus Law Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah
Digdayamedia.id- Salah satu hal yang menarik dalam Pidato Presiden RI pasca pelantikan pada 20 Oktober 2019 yang lalu adalah “Pemerintah akan membuat satu Undang-Undang untuk mengamandemen beberapa Undang-Undang sekaligus” atau diistilahkan dengan Omnimbus Law. Konsep Omnibus Law sendiri nyatanya digunakan di negara-negara yang menganut Common Law (Omnibus Bill) seperti Amerika Serikat, sedangkan untuk Indonesia lebih condong ke sistem Civil Law.
Bagi Republik Indonesia di usianya yang ke 74 tahun ini, penerapan bentuk atau model sistem hukum antara Common Law atau Civil Law dalam perkembangannya, masih memerlukan penyesuaian dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Artinya, sistem yang dianut oleh suatu negara masih dimungkinkan dapat di isi denhan design sistem lain sepanjang tidak merubah fundamen bentuk sistem yang dianutnya guna mencapai tujuan negara.
Mengutip pendapat Pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z Usfunan, bahwa konsep Omnibus Law menjadi salah satu jalan keluar yang mungkin dapat ditempuh oleh pemerintah Indonesia guna mengatasi dua hal, yakni kriminalisasi pejabat Negara dan untuk penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi.
Menurut Jimmy Z Usfunan, persoalan kriminalisasi pejabat Negara selama ini menjadi momok bagi para pejabat pemerintaha. Dewasa ini, banyak pejabat pemerintah yang takut menggunakan diskresi dalam mengambil kebijakan terkait penggunaan anggaran karena jika terbukti merugi, bisa dijerat dengan UU Tipikor.
Kedua, omnibus law bisa digunakan di Indonesia untuk penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi. Berkenaan dengan hal ini, omnibus law bisa menjadi cara singkat sebagai solusi peraturan perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara vertikal maupun horizontal. ( lihat https://www.hukumonline.com, 7 Februari 2017).
Jika kembali kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan hukum dasar tertulis (basic law) konstitusi Pemerintahan Negara Republik Indonesia, telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-empat bahwa tujuan Negara Republik Indonesia tersebut berbunyi: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dengan demikian tujuan Negara adalah tujuan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, dan perdamaian. Dirasa belum optimalnya Pemerintah mewujudkan tujuan negara tersebut, menjadi isu strategis oleh Kepala Pemerintahan apakah Presiden, Gubernur maupun Bupati/Walikota.
Meskipun sudah 74 tahun Indonesia merdeka, tercatat pada tahun 2018 pada Data BPS di bulan Maret untuk tingkat kemiskinan pusat mencapai 9,82%, oleh karena itu, agenda tujuan pembangunan berkelanjutan kemiskinan memang harus menjadi prioritas untuk ditanggulangi. Pencanangan program-program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara berkesinambungan diharapkan memunculkan masyarakat yang makin mandiri, kreatif, inovatif, dan produktif.
Selanjutnya, Pemerintah juga menerbitkan regulasi dalam rangka kemudahan investasi dan perijinan. Seperti untuk proses penyederhanaan perijinan terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perijinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan membatalkan 3.143 (tiga ribu seratutus empat puluh tiga) perda yang konon katanya dinilai menghambat investasi. Hal tersebut dilakukan guna manarik investasi dan menjadi bentuk kongkret komitmen pemerintah dalam memberikan kemudahan investasi.
Alhasil, strategi yang dilakukan pemerintah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut, juga masih belum mampu mendongkar minat investor dan melahirkan pengusaha-pengusaha baru. Tercatat, terdapat sekitar 33 perusahaan di China yang keluar dan tidak ada satupun dari perusahaan itu yang memilih Indonesia. 23 perusahaan tersebut justru memilih Vietnam dan 10 lainnya memilih Malaysia, Thailand, dan Kamboja untuk berinvestasi. (baca: https://republika.co.id, 7 september 2019).
Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti, terdapat banyak faktor yang menyebabkan para investor asing enggan untuk berinvestasi ke Indonesia. Namun, faktor terbesarnya adalah regulasi terkait perizinan yang masih belum jelas. (baca: https://republika.co.id, 7 september 2019).
Untuk mengembalikan dan menumbuhkan minat investasi tersebut kemudian dimunculkan konsep untuk melakukan penggabungan (Omnimbus Law) terhadap Peraturan Perundang-Undangan, yang kita ketahui bahwasanya sebanyak 72 (tujuh puluh dua) Undang-Undang terkait perijinan untuk dilakukan penggabungan (OMNIBUS LAW), (lihat https://money.kompas.com/read/2019/09/12).
Langkah pemerintah di atas, tentu saja akan merubah design regulasi penanaman modal yang selama ini menjadi acuan di Pemerintah Daerah, yaitu Undang-Undang No 25 Tahun 2007, Undang-Undang No 25 Tahun 2009, Undang-Undang No 23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah No 96 Tahun 2012, Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2018, Peraturan Presiden No 16 Tahun 2012, Peraturan Presiden No 97 Tahun 2014, Permendagri No 138 Tahun 2017.
Seandainya agenda Omnibus Law tersebut terwujud, maka sesuai jenis hierarki peraturan perundang-undangan bentuknya adalah Undang-Undang, yang dicabut juga Undang-Undang, apakah isi dari Undang-Undang hasil omnibus law tersebut bersifat umum atau detail, seperti UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mencabut UU No 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, UU No 32 Tahu 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 157, Pasal 158 ayat (2) sampai dengan ayat (9) dan pasal 159 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan beberapa Pasal UU 17 Tahun 2014.
Adanya perubahan Undang-Undang bahkan pencabutan terhadap Undang-Undang tentunya bagi Pemerintah Daerah akan berdampak terhadap daya laku dan daya ikat dari produk hukum di daerah, baik berupa Perda maupun Peraturan Kepala Daerah. Oleh karenanya, dalam asas peraturan perundang-undangan sistem hukum kita menganut asas hierarki. Dengan adanya Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi akan mengesampingkan yang rendah (Asas lex superior derogat legi inferior) dengan sendirinya (secara langsung) produk hukum daerah tersebut tidak dapat dijadikan pedoman atau dasar hukum lagi.
Bagi Provinsi, Kabupaten atau Kota memiliki ratusan Perda dan Perkada. Pemda harus cepat menentukan status produk hukum nya apakah dicabut atau diubah. Jangan sampai, dinamika perundang-undangan di pusat berkembang cepat dan dinamis sementara Pemda masih memberlakukan ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor atau masyarakat.
Dari apa yang diuraikan diatas, kita memahami spirit pemerintah dalam menggabungkan undang-undang ke dalam undang-undang baru lebih difokuskan pada kemudahan investasi sehingga dampak yang kemungkinan pemerintah daerah alami sebatas pada pelayanan perizinan yang dimiliki Pemerintah Daerah. Dengan demikian, langkah apa saja yang perlu Pemerintah Daerah lakukan dalam menyongsong produk UU hasil omnibus law tersebut? Dalam hal ini penulis menguraikan setidaknya ada 5 hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya :
Pertama, melakukan identifikasi perda yang berkaitan dengan perijinan dan pedoman dalam urusan/ kewenangan masing-masing Pemerintah Daerah (Provinsi/Kab/Kota)
Kedua, melakukan pemetaan dan analisis keterkaitan perda dengan Undang-Undang sektoral dan peraturan pelaksanaannya.
Ketiga, menyusun analisis kebutuhan jenis produk daerah yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik jangka pendek (1 tahun) maupun jangka panjang (5 tahun).
Keempat, mendesign keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan (perda/perkada) melalui diskusi, seminar, forum grup discussion atau kegiatan sejenis lainnya sebagai bentuk penjaringan aspirasi.
Kelima, menyusun kajian/telaahan/naskah akademik serta norma yang perlu dirumuskan sesuai teknik penulisan (legal drafting).
Dengan mengatasnamakan perkembangan zaman dan kebutuhan negara dalam berkompetisi menarik investasi memang perubahan undang-undang menjadi suatu keniscayaan, kiranya bagi Pemerintah Daerah juga dapat mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan produk hukum daerah melalui 5 (lima) langkah-langkah tersebut, dengan tetap menunggu dan melihat (wait and see) perkembangan perundang-undangan di pusat yang dinamis, karena penyelenggara pemerintahan sesuai perintah Presiden tugas kita bukan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi tugas kita adalah membuat masyarakat menikmati pelayanan, menikmati hasil pembangunan.
Akhmad Syaefullah,SH. (ASN Biro Hukum Pemprov Banten Sejak 2002 sampai Sekarang)