Budaya Post Factum Dalam Praktek Pembentukan Peraturan Daerah di DPRD
Digdayamediatama.id- Pelantikan DPRD terpilih periode 2019-2024 di beberapa Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota sudah mulai laksanakan, pertanda periodesasi DPRD periode 2014-2019 berakhir, jika dilihat dari tahun anggaran, baru akan berakir di 31 desember. Artinya, terdapat 4 (empat) bulan untuk menyelesaikan program yang menjadi fungsi DPRD, diantara fungsi DPRD yang menjadi jati diri lembaga ini adalah legislasi atau Pembentukan Peraturan Daerah.
Dalam kamus Hukum Indonesia, Legislasi diartikan sebagai proses pembuatan undang-undang, dan dalam black’s law dictonary, legislation diartikan sebagai the power to make the laws. Adapun dalam kamus indonesia diartikan sebagai kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan undang-undang, dan dalam black’s law dictonary diartikan action which relate to subjects of permanent or general character are legislative, yang mengandung arti/pemahaman bahwa secara fundamental lembaga legislative merupakan lembaga yang tak terlepas dari adanya fungsi legislasi di dalamnya, fungsi tersebut tidak lain adalah Lembaga Negara yang disebut dengan DPR. Sedangkan untuk Lembaga DPRD, baik ditingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota jelas tidak memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki ruang lingkup secara nasional, seperti undang-undang.
Dalam hal ini, DPRD hanya memiliki kewenangan dalam hal pembentukan Peraturan Daerah yang hanya terbatas pada regional wilayahnya saja, di dalam Hirarki Perundang-undangan, Perda memiliki posisi urutan ke 6 (untuk Perda Provinsi) dan 7 (untuk Perda Kabupaten/Kota)., sehingga jika melihat dari teori Separation Of Power dan Distribution Of Power sebagai pisau analisisnya dan pengertian dari beberapa kamus hukum dari makna legislasi dan legislative serta melihat dari batasan yang dimilki oleh DPRD tersebut, maka DPRD ternyata tidak dapat dikategorikan memiliki fungsi legislasi, dan dalam logika hukum juga tidak dapat dikategorikan termasuk lembaga legislative. Hal ini disadari juga oleh Pemerintah dan kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan penyebutan dan penamaan fungsi Legislasi DPRD tidak lagi disebut sebagai fungsi legislasi, namun dengan sebutan fungsi Pembentukan Peraturan Daerah. (lihat Pasal 97 dan Pasal 150 UU 23/14),bahkan semua ketentuan mengenai program legislasi daerah dan badan legislasi daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai program pembentukan Perda dan badan pembentukan Perda (lihat Pasal 403 UU 23/14), dan agar tidak menimbulkan kerancuan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, seluruh pasal yang mengatur DPRD di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (lihat Pasal 409 huruf d UU 23/14) juga dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Keberadaan DPRD sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan secara tegas berkedudukan sebagai sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (lihat Pasal 1 angka 4 UU 23/14), Pemerintahan Daerah itu sendiri adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan Daerah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat Pasal 1 angka 2 UU 23/14). Dengan demikian, maka DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi pembentukan Perda, Anggaran dan Pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah (lihat penjelasan umum angka 2 UU 23/14). Jika berpijak dari uraian di atas, maka kita bisa memaknai DPRD dengan sebutan “Lembaga Refresentatif”.
Sebagai lembaga yang memiliki fungsi pembentukan peraturan daerah, tidak sedikit dari Program Pembentukan Perda yang ditetapkan tidak sampai di paripurnakan (persetujuan bersama di tingkat pembicaraan II), maka menjadi penting untuk diperjelas bagaimana mekanisme untuk dilanjutkan oleh DPRD baru, Peraturan DPRD tentang Tata Tertib sebagai Peraturan teknis untuk mengimplementasikan tugas dan wewenang disarankan perlu mengakomodir dan melegitimasi terhadap keadaan setelah selesainya (post factum) DPRD lama, hal ini sebagai bentuk melindungi dan menjunjungtinggi marwah DPRD, kehati-hatian, dan akuntabel.
Peraturan DPRD tentang Tata Tertib sebagai wujud dari prinsip kolektif kolegial yang diyakini menjadi penyeimbang (check and balance) dalam memproteksi muculnya beragam penafsiran, dalam penyusunan tatibnya harus memiliki konstruksi materi muatan yang mengayomi kebijakan DPRD terdahulu, paling tidak menurut penulis langkah/tahapan yang perlu dilakukan yaitu pertama dengan mengidentifikasi hasil dan pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD yang lalu, sebagai contoh di fungsi legislasi, secara konstektual terdapat raperda yang belum selesai dengan beragam pertimbangan, kedua menyusun diksi yang tepat sesuai dengan instrumen kebutuhan peraturan yang akan dibuat dan diselaraskan serta disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan ketiga melakukan pemantapan konsepsi untuk dibawa ke dalam musyawarah dan mufakat. Mengingat Keberadaan DPRD dalam menjalankan fungsi dan tugas sangat tergantung kepada bagaimana Peraturan Tata Tertib yang disepakati, maka Tatib juga harus mampu menampung kondisi secara aktual yang dialami di lembaga DPRD, tatib harus mengantisipasi keadaan yang mungkin saja menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari, dalam tatib juga tidak mentolerir adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelantikan dan sahnya menjadi Anggota DPRD definitf sudah selesai, ekspektasi masyarakat terhadap aspirasinya diperhatikan, diakomodir ke dalam kebijakan Pemerintahan Daerah, sangat dinantikan dan ditunggu masyarakat, terlebih lagi masuk di era revolusi industri 4.0, yang membutuhkan Sumber Daya Manusia yang memiliki kemampuan kognitif yang fleksibel, logika berpikir yang baik, sensitif terhadap masalah, kemampuan matematika, dan visualisasi. Tentu saja keberadaan lembaga DPRD sebagai mitra sejajar Kepala Daerah adalah suatu niscayaan untuk memiliki mindset, cara kerja, dan pola membangun hubungan yang harmonis antar kelompok masyarakat maupun organisasi dan untuk menjaga marwah DPRD sebagai Lembaga Refresentatif, dituntut memberikan kemampuan terbaik untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan Rakyat yang sejahtera. Kita doakan DPRD semakin dekat dengan Rakyatnya dan mengoptimalkan fungsi dan tugasnya secara efesien dan efektif.
Penulis : Akhmad Syaefullah, Kasubag Raperda di Biro Hukum Setda Provinsi Banten