Kekuasaan Seperti di Negeri Dongeng
Digdayamedia | Saat masih kecil, saya pernah membaca sebuah dongeng yang berkisah tentang “sepatu kulit yang dapat bicara”. Kisah sepatu itu terjadi di kehidupan nyata saat ini.
Dalam sebuah cerita sepatu dikisahkan, sepatu kulit tersebut dapat berbicara. Ketika ia di dekati seekor tikus, ia berdoa kepada tuhan agar bisa menjadi kucing yang bisa menakuti tikus yang hendak memakannya saat ini. Kemudian doa tersebut terkabulkan. Ia akhirnya menjadi seekor kucing.
Setelah ia menjadi kucing, ia tidak dapat keluar dari rumah karena takut akan terkaman anjing, kemudian ia berdoa agar bisa menjadi anjing dan dapat berkeliaran bebas di luar rumah, dan doa tersebut di kabulkan lagi. Akhirnya ia menjadi seekor anjing. Setelah itu, ia bebas berkeliaran di luar rumah, namun di jauhi manusia dan jadi bahan lemparan batu manusia. Kemudian anjing tersebut berdoa lagi ingin menjadi manusia. Bim salabim, ia akhirnya menjadi manusia. Namun setelah menjadi manusia, ia merasa di tindas oleh raja.
Kemudian ia berdoa ingin menjadi raja agar tidak tertindas lagi, doa tersebut dikabulkan lagi. Akhirnya ia menjadi raja. Namun setelah ia menjadi raja, masyarakat yang ia pimpin banyak yang memberontak. Karena ketidak adilan saat ia memimpin. Kemudian ia berdoa ingin menjadi tuhan. Namun tuhan tidak mengabulkan, dan mengembalikan ia ke seperti semula, yaitu menjadi sepatu kulit.
Dalam dongeng tersebut, terjadi pada masa sekarang. Banyak masyarakat biasa yang ingin menjadi pemimpin, dan ketika sudah memimpin ia melupakan rakyatnya, sehingga banyak yang memberontak. Hingga pada pemilihan pemimpin kembali ia tidak menjadi apa-apa. Bahkan hanya kesan yang jelek yang kadang tersisa pada pemimpin yang tidak mementingkan rakyatnya.
Di kisah nyata, ada masyarakat bisa yang terjun untuk menjadi seorang pemimpin, dan akhirnya ia menjadi pemimpin daerah. Kurang puas dengan itu, ia menyalonkan diri menjadi gubernur, dan terpilih menjadi gubernur. Hingga akhirnya ia tertarik menjadi kepala negara. Kemudian ia mencalonkan diri menjadi kepala negara dan meninggalkan jabatan gubernur demi mencapai tujuannya menjadi kepala negara. Hingga akhirnya ia terpilih menjadi kepala negara.
Namun, sebelum ia mencalonkan diri menjadi kepala negara, saya pernah membaca sebuah berita di portal media online Kompas.com edisi Senin, 24 Maret 2014, salah satu pemimpin kepala daerah pernah mengatakan bahwa macet dan banjir lebih mudah diatasi jika menjadi presiden. Namun kenyataannya setelah menjadi presiden, ia malah menginginkan pemindahan ibukota ke daerah lain, karena banjir dan macet tidak bisa di atasi.
Kekuasaan yang ada di masa kini, seperti di negeri dongeng.
Penulis Ahmad Saefudin